Monday, April 20, 2009

pendidikan

dari buta huruf sampai 'cilukba'

Saat sosialisasi program pemberantasan buta aksara (17/12/2005) di Solo, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bahwa persentase penyandang buta aksara di

Indonesia sekitar 14,8 juta orang.

Jika pernyataan Mendiknas -- sementara versi LIPI, 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia -- bisa kita pegang, berarti pemerintah telah sukses mengentaskan penduduk buta huruf sekitar 10 persen (jumlah buta aksara di Indonesia tahun 1996 sekitar 16 persen). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang telah melek huruf hingga akhir tahun 2004 sebesar 93,3 persen. Sunguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang, hanya sekitar 69 persen.

Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf. Akan tetapi, mengapa persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen? Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 :1,74), serta India (1: 38,14).

Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.

Buta huruf-budaya

Satu-satunya spasi interpretasi atas kontradiksi data tersebut adalah: besarnya angka buta huruf secara budaya. Bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Salah satu sebab bisa karena bahan bacaan yang langka, susah mengakses bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan.

Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis surat pribadi (surat pembaca ke media, surat untuk teman, keluarga, dan kerabat dekat, atau menulis di buku harian)?

Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.

Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.

Dunia tanpa koherensi

Televisi menyajikan peristiwa "ini" sekarang, lantas peristiwa "itu” kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Menurut Neil Postman, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas New York, inilah yang disebut dunia di mana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal. Sepenuhnya berdiri sendiri. Seperti halnya cilukba, permainan untuk bersenang, televisi juga berbicara dalam satu bahasa: kesenangan (hiburan).

Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).

Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.

Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.

Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).

Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam (baca juga tulisan Jacob Sumardjo : smipa) . Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tetapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apa lagi. Ketika ditanya apa makna dari itu semua, jawabannya jana satu: lupa tuh!

mendidik 1,3 milyar manusia

MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang miskin.

Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampah berserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar di Jakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakan kotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik. Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidik manusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!

Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita masih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju hitam atau abu-abu. Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo, Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.

Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarah Cina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantan Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Education and China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelah membaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepat maju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yang diambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan oleh berbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimana perkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian.

Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multiple intelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds (1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teori mutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya: "I am interested in it because I want to call the attention of our educators and scientists ....so that education in this nation can be made to enhance people's all-round development and tap the potential of human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun, Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasi pendidikannya.

Pendidikan Karakter



Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Decisions of Reform of the Education System, 1985). Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.

Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi (emosi), dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.

Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memang terus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin, yaitu melalui pidato-pidatonya. Sehingga, seperti yang diungkapkan oleh Li Lanqing: "After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way". Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampir semua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampai Hu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggap dapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak, pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yang semuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal 336).

Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zemin mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).

Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan "wajah" yang berbeda dari negara komunis lainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialis yang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon dan Robert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alat untuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnya adalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang sosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, dan berkeadilan). Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu, karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir, dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan dengan moral sosialis sejati)--- the end justifies the means.

Kekuatan Dahsyat


Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka jumlah penduduk sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat bagi kemajuan Cina. Inilah yang membuat para pakar Amerika Serikat deg-degan, seperti kata Bill Bonner yang mengkhawatirkan kondisi AS di masa depan: "Bisa dibayangkan dalam waktu 20 atau 30 tahun ke depan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaan sebagai baby sitter di Cina."

Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah.

bebaskan sikecil dari depresi belajar

Menjejali anak dengan beragam les dan kursus, tidak menjamin anak otomatis jadi pandai. Yang terjadi bisa sebaliknya, anak kita frustrasi, bahkan bisa bunuh diri seperti dilakukan Lysher Loh Jia Hui, siswi SD berusia 10 tahun.
"PR lagi? Jangan dong Bu, saya 'kan sudah banyak PR dari sekolah," rengek Joshua kepada ibu guru lesnya. Terang saja ia keberatan. Dalam seminggu Joshua yang baru 10 tahun umurnya itu harus mengikuti empat macam les. Apalagi sekarang di sekolahnya ada jam tambahan pelajaran, sehingga ia jadi tidak punya waktu bermain. Akibatnya, di tempat les ia jadi sering berselisih dengan temannya. Begitu sensitif, digoda sedikit saja langsung marah. Di sekolah pun perhatian terhadap proses pengajaran menurun dan sering lupa bikin pekerjaan rumah (PR).

Dengan alasan kasih sayang, apa saja dilakukan orangtua agar anaknya sukses. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya jadi yang terbaik di sekolah dan punya masa depan cemerlang? Maka, tak heran kalau banyak orang- tua memaksa anak mengikuti berbagai les dan kegiatan. Namun, jika tidak diwaspadai, hal ini malah bisa menjadi bumerang.

Bumerang itu sempat menghantam balik orangtua Lysher Loh Jia Hui akibat ulah sendiri. Ini sebuah cerita tragis y ang menimpa Lysher (Siswi SD: Selamat Tinggal Sekolah, Selamat Tinggal Hidup; Koran Tempo, 23 Agustus 2001).
Siswi kelas empat SD berusia 10 tahun asal Singapura itu, mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas dari sebuah apartemen di tingkat lima. Ia ditemukan terkapar tewas dengan mengenakan kaus oblong - celana pendek seragam sekolahnya. Siswi yang tergolong pintar di sekolah itu sangat terpukul ketika mendapat ranking ketiga.

Haus kasih sayang

" Keputusan untuk bunuh diri yang dilakukan anak sebenarnya adalah bentuk pernyataan bahwa mereka sesungguhnya membutuhkan pertolongan.
Coba simak buku harian bertanggal 1 Mei 2001 yang dibuat oleh almarhumah Lysher,
"Horeee! Ini hari buruh! Tak ada sekolah! Dan tahukah kamu apa artinya itu? Tak ada pekerjaan rumah! Saya sangat bahagia! Meskipun kangen juga pada guru-guru dan teman-teman, saya sungguh menikmati liburan sekolah ini, karena tak ada sekolah. Sebenarnya tidak juga begitu. Saya pikir, yang jadi alasan utamanya adalah orangtuaku tidak bekerja, dan mereka berada di rumah bersama diriku! Kami dapat senang-senang, pergi keluar bersama-sama! Bukankah ini benar-benar hebat?"
Dari tulisannya, tampak Lysher merasa kesepian dan haus kasih sayang serta kehangatan dari orangtuanya.
Tanda-tanda bahwa Lysher mengalami stres berat sebenarnya dapat dideteksi orang tuanya. Sebelum kepergiannya, ia sering mengeluh ke pada ayahnya, bahwa ia punya PR. Setiap hari ia harus mengerjakan tiga pekerjaan rumah.
Sekitar 25 menit sebelum dijemput maut, ia sempat bertanya kepada pembantunya tentang ada tidaknya kemungkinan ia bisa membolos sekolah hari itu.

Mengikuti perkembangan zaman, para pelajar di sekolah dasar semakin banyak yang ikut kursus tambahan di luar pendidikan formal mereka. Anak-anak itu disuruh orangtua mereka untuk kursus bahasa Inggris, melukis, atau belajar piano. Sedangkan yang duduk di bangku SLTA juga harus ikut kursus tambahan untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi.
Padahal mereka masih perlu bermain. Otak mereka belum dapat dibebani oleh hal-hal yang berat. Akibatnya, jumlah anak-anak yang melakukan bunuh diri akibat tekanan-tekanan itu semakin hari semakin bertambah. Mereka melompat dari gedung sekolah atau menggantung diri. Gagal menjalin hubungan dengan teman lain jenis pun dapat menjadi faktor utama bunuh diri. Konon, angka bunuh diri pada usia dewasa meningkat. Penyebabnya: menganggur.
Bila gairah belajar anak Anda mulai menurun, sulit berkonsentrasi, sering sakit, dan sebagainya, ada kemungkinan ia mengalami depresi belajar. Apalagi jika anak Anda sering menyebut-nyebut ingin bunuh diri atau telah ketahuan sekali pernah mencoba bunuh diri, maka harus ekstra waspada!
Ini pertanda anak Anda membutuhkan pertolongan tenaga profesional. Apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi depresi belajar anak? Mungkin tip berikut dapat membantu.

Meningkatkan kecerdasan emosional

" Kepada anak diajarkan cara berpikir realistis dan optimistis, bahwa kadang kala nilai di sekolah dapat naik atau turun, seperti halnya kesehatan, kalau tidak dijaga, bisa turun.
Cara untuk mengajarkan berpikir realistis dan optimistis pada anak adalah membekalinya dengan kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient) sejak dini. Supaya anak tidak memiliki masalah perilaku di usia dewasanya.

Penelitian Carroll Izard, Ph.D. dari University of Delaware di Newark menunjukkan, anak-anak yang sulit memahami perasaan-perasaan mereka dan orang lain, akan rentan terhadap masalah-masalah perilaku dan pembelajaran di usia lebih besar. Cara yang mudah untuk mengajarkan kecerdasan emosional misalnya dengan:

  • Kartu emosi
    Kartu buatan sendiri dengan gambar yang menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda-beda yang bisa membantu anak mengenali macam-macam perasaan seperti marah atau kaget. Tanyakan pada anak Anda, kapan ia pernah merasakan hal yang sama.
  • Curahan hati
    Anda harus siap membuka diri bila anak ingin bercerita tentang sekolahnya. Anda harus mampu berempati terhadap masalahnya. Jika ia tidak suka bercerita, sering-seringlah bertanya setiap ia pulang sekolah. "Ada apa tadi di se-kolah?", "Ada yang nakal sama kamu?", "Kok, cemberut sih?", dan lainnya.
    Bila kurang efektif, pancing anak agar bercerita. Caranya, menceriterakan pengalaman masa kecil Anda di sekolah, baik yang menyenangkan atau yang buruk. Mungkin hal itu akan merangsang anak untuk bercerita.
  • Membaca dongeng atau buku bersama
    Cari buku-buku yang fokus pada berbagai jenis perasaan, misalnya Chicken Soup for Kid's Soul. Pilihlah dongeng-dongeng yang memberikan pesan moral. Dari kisah-kisah itu anak akan mengetahui bahwa ada banyak orang yang juga mengalami masalah di sekolah atau di rumah. Selain itu, taburilah mereka dengan pesan-pesan moral dan nasihat menjalani hidup untuk meningkatkan kecerdasan moralnya.
  • Bermain peran atau drama
    Latihan memainkan kejadian-kejadian emosional bersama anak. Mi salnya, berpura-pura sakit, mendapat nilai ujian yang jelek, atau lainnya. Libatkan pula saudara dan teman-temannya. Mungkin saja, latihan ini bisa berguna bila anak harus mengikuti pentas drama di sekolah atau saat acara 17 Agustusan di perumahan.
  • Libatkan anak dengan kegiatan olahraga atau Organisasi
    Anak akan belajar bagai-mana bekerja sama dengan orang lain dan belajar bagai-mana memahami sikap teman-teman yang berbeda dengan dirinya. Bila memungkinkan, ajak mereka berkemah, ke gunung, hutan, atau pantai untuk melihat matahari terbit dan terbenam. Hal ini juga erat hubungannya untuk meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Masjid, gereja, pura, candi dapat Anda manfaatkan untuk hal ini.
  • Puji dan motivasilah anak
    Bila anak mendapat nilai jelek, beri motivasi bahwa ia masih bisa mencapai nilai yang lebih baik besok atau ujian berikutnya. Anda pun jangan marah bila ia mendapat nilai buruk. Coba renungi apa yang salah, mungkin saja anak sedang stres atau sakit.
    Pujilah, asal jangan berlebihan bila berhasil mencapai prestasi. Anak harus belajar bahwa dirinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, tidak mungkin ia bisa pandai di semua pelajaran. Anak yang perfeksionis cenderung menjadi depresi dibandingkan dengan anak lain. Beri tahu pula mereka agar jangan takut berbuat salah. Karena pengalaman juga merupakan pelajaran berharga untuk menghadapi hidup.
  • "Makanan" bekal melawan stres
    Perbanyak sayur dan buah dalam menu putra-putri Anda. Kalau perlu, senantiasa suplai mereka dengan vitamin dan mineral penting untuk tubuh. Terutama vitamin C yang mujarab untuk menghalau stres dan vitamin B kompleks untuk meningkatkan kerja otak.
    Bila anak merasa lelah, mengantuk, capek, atau bosan akan menyebabkan napasnya semakin perlahan. Pada saat demikian ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Bila napas semakin perlahan, paru-paru tidak mampu menyediakan oksigen sesuai kebutuhan tubuh. Juga tidak mampu mengeluarkan karbondioksida secara efisien. Akhirnya, kadar karbondioksida dalam darah meningkat.
    Bila karbondioksida berlebih, sinyal akan dikirim ke otak. Otak akan menyuruh paru-paru untuk mengambil napas panjang dan dalam, yaitu menguap. Oksigen akan terhirup dan karbond ioksida dikeluarkan sebanyak mungkin. Sediakan suasana belajar (jendela, kipas, dsb.) yang mendukung sirkulasi oksigen yang baik.
    Selain itu, biasakan anak-anak untuk banyak minum air putih. Responden yang diteliti di Universitas Bristol di Inggris ternyata dapat menunjukkan prestasi 10% lebih baik di bidang numerik setelah minum segelas air dingin.
  • Metode belajar efektif
    Sebaiknya, ajari putra-putri kesayangan Anda metode belajar yang efektif sejak kecil. Bisa belajar dalam waktu singkat tetapi mampu menyerap pelajaran dengan lebih baik. Sekarang sudah banyak kursus yang menawarkan metode belajar efektif.
    Metode belajar ini diadaptasi dari luar negeri. Biasanya, pada anak akan diajarkan cara menghapal dengan lebih mudah, memba ca lebih cepat, peta pikiran, dan kreativitas. Sebagai orangtua, Anda harus memilih kursus mana yang kurikulumnya paling cocok untuk anak. Kursus ini membutuhkan biaya cukup besar.
    Satu hal penting, berilah mereka kasih sayang yang tulus. Kasih sayang juga merupakan obat ampuh untuk membantu anak menghadapi depresi belajarnya. Seperti dikatakan oleh Lysher, "Saya pikir, yang jadi keinginan utamaku adalah orangtuaku tidak bekerja, dan mereka berada di rumah bersama diriku! Kami dapat senang-senang, pergi keluar bersama-sama!"
    Tragis bukan? Mulai sekarang, segera selamatkan putra-putri Anda dengan belaian kasih sayang!



mengajar siswa yang beragam dengan banyak cara

Dunia pendidikan sesungguhnya dipenuhi berbagai kebhinekaan. Sebab, tidak ada siswa yang punya daya tangkap, daya serap, daya pikir dan daya kecerdasan yang sama antara satu siswa dengan siswa lainnya dalam sebuah kelas atau sekolah. Untuk itu, cara mendidik pun sesungguhnya berbeda-beda tergantung tingkat kecerdasan masing-masing siswa. Namun yang terjadi selama ini adalah keseragaman tata cara pendidikan di setiap sekolah, seakan-akan semua siswa punya karakteristik yang seragam. Padahal, karakteristik setiap siswa itu amat berbeda, sehingga cara mengajarnya pun menjadi beragam. Bagaimana sebenarnya pendidikan yang berbhineka itu?
============


Dr. I Made Candiasa, M.I.Komp., dekan FPTK IKIP Negeri Singaraja, dalam sebuah orasi untuk perkenalan menjadi guru besar di kampusnya awal pekan ini mengungkapkan karakteristik siswa dalam sebuah kelas atau sekolah itu sangat beragam. Sehingga saat melakukan proses belajar-mengajar, setiap siswa sebaiknya menerima perlakuan individu dengan pendekatan yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya.


Untuk itu, Candiasa yang lahir di Banjar Penasan, Klungkung 30 Juni 1960 ini menawarkan model pembelajaran yang khas dalam keberbhinekaan pendidikan. Model ini mencoba mengakomodasi perbedaan karakteristik peserta didik, agar mampu beradaptasi dengan kondisi peserta didik yang beragam.


Dosen yang juga ahli di bidang matematika ini memaparkan peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan harus diakomodasi dalam pembelajaran, agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Psikologi dengan berbagai cabangnya telah mengidentifikasi sangat banyak variabel yang mengindikasikan perbedaan individu dan mempengaruhi proses belajar, seperti kecerdasan, keberbakatan, gaya kognitif, gaya berpikir, daya adopsi, ketahan-malangan, dan kemampuan awal.
Soal kecerdasan sudah sejak lama menjadi bahan pertimbangan dalam pembelajaran. Menurut Candiasa, teori faktor tunggal dari Binet-Simon mendeskripsikan kecerdasan dalam satu skor umum tunggal (overall single score) yang disebut intelligence quotient (IQ), sedangkan Spearman dengan teori dua faktor mendeskripsikan kecerdasan menjadi dua faktor kemampuan yang berdiri sendiri, yaitu faktor umum (general) dan faktor khusus (specific).


''Sekalipun teori faktor tunggal dan teori dua faktor memungkinkan penyeragaman proses pembelajaran, namun akan lebih baik jika individu dengan IQ yang berbeda mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda,'' kata Candiasa.
Bahkan, lanjut Candiasa, pemberagaman pembelajaran akibat perbedaan kecerdasan menguat setelah Thurstone mendeskripsikan kecerdasan dan keberbakatan (aptitude) menjadi beberapa faktor kemampuan yang dikenal dengan faktor ganda (multiple factors), yaitu kemampuan verbal (verbal comprehension), kemampuan berhitung (number), kemampuan geometris (spatial relation), kelancaran kata (word fluency), ingatan (memory), dan penalaran (reasoning).


Selanjutnya, tuntutan keberagaman pembelajaran lebih tampak lagi pada teori kecerdasan ganda (multiple intelligence) dari Gardner. Teori kecerdasan ganda menyatakan bahwa kecerdasan dan keberbakatan manusia terdiri atas tujuh komponen yang semiotonom, yaitu kecerdasan musik (musical intelligence), kecerdasasan bodi-kinestetik (bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence), kecerdasan ruang (spatial intelligence), kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), dan kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Nah, agar diperoleh hasil belajar yang optimal, kecerdasan yang berbeda harus mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda pula.

Selain kecerdasan, menurut Candiasa, gaya kognitif juga cukup kuat pengaruhnya terhadap proses pembelajaran. Sebagaimana disebutkan oleh Witkin yang membedakan individu berdasarkan gaya kognitifnya menjadi individu field independent dan individu field dependent.

Individu field independent cenderung berpikir analisis, mereorganisasi materi pembelajaran menurut kepentingan sendiri, merumuskan sendiri tujuan pembelajaran secara internal dan lebih mengutamakan motivasi internal. Di lain pihak, individu field dependent cenderung berpikir global, mengikuti struktur materi pembelajaran apa adanya, mengikuti tujuan pembelajaran yang ada dan lebih mengutamakan motivasi eksternal.

Gejala psikologis lain yang dapat membedakan individu dalam proses belajarnya adalah gaya berpikir. Gaya berpikir erat kaitannya dengan fungsi belahan otak. Candiasa mengutip Koestler dan Clark yang menyebut bahwa belahan otak kanan lebih bersifat lateral dan divergen, sedangkan belahan otak kiri lebih bersifat vertikal dan konvergen.

Masing-masing belahan otak bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi tertentu. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier, dan rasional, sedangkan proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, divergen, dan holistik.
Daya adopsi individu juga berbeda dan juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Rogers, menurut Candiasa, membedakan individu berdasarkan daya adopsinya menjadi empat kelompok, yaitu adopter, mayoritas awal (early majority), mayoritas akhir (late majority), dan pembelot (laggard). Individu yang masuk kelompok adopter selalu mempelopori penerimaan inovasi.
Kelompok mayoritas awal memerima inovasi apabila sudah sekitar 30 persen individu lainnya menerima. Kelompok individu mayoritas akhir bersedia menerima inovasi setelah 60 persen individu lainnya. Kelompok individu pembelot adalah kelompok individu yang paling sukar menerima inovasi. Setelah itu, berawal dari kegagalan individu cerdas dan berbakat dalam usahanya, ditemukan variabel ketahan-malangan (adversity) yang dapat mempengaruhi aktivitas individu, termasuk belajar.


Ketahan-malangan adalah daya tahan individu untuk menghadapi tantangan. Di sini Candiasa mengutip Stoltz yang membedakan individu berdasarkan ketahan-malangan yang dimiliki menjadi tiga kelompok, yaitu penjelajah (climber), penunggu (camper), dan penyerah (quitter). Individu penjelajah selalu ingin maju seberapa pun hambatan yang dialami. Individu penunggu, untuk berbuat sesuatu selalu menunggu keberhasilan individu lainnya. Individu penyerah adalah individu yang tidak berusaha untuk maju dan cenderung menyerah sebelum berusaha.

Kemampuan awal peserta juga harus mendapat pertimbangan dalam proses pembelajaran. Kemampuan awal sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, perbedaan lingkungan dapat mengakibatkan perbedaan kemampuan awal. Perbedaan kemampuan awal mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengelaborasi informasi baru untuk membangun struktur kognitif.

Dengan melihat perbedaan-perbedaan itu rupanya dalam belajar juga dituntut individualisasi agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengakomodasi perbedaan karakteristik individu dalam pembelajaran. Permasalahan berikutnya adalah komponen-komponen pembelajaran yang mana saja dapat diadaptasikan dengan karakteristik individu yang amat beragam. (ole)


No comments:

Post a Comment