dari buta huruf sampai 'cilukba'
Saat sosialisasi program pemberantasan buta aksara (17/12/2005) di Solo, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bahwa persentase penyandang buta aksara di
Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk
Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.
Buta huruf-budaya
Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis
Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.
Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.
Dunia tanpa koherensi
Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).
Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.
Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.
Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).
Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam (baca juga tulisan Jacob Sumardjo : smipa) . Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tetapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apa lagi. Ketika ditanya apa makna dari itu semua, jawabannya jana satu: lupa tuh!
No comments:
Post a Comment