Tuesday, April 21, 2009

sakit jiwa

Berikut adalah kumpulan artikel tentang pasien yang jiwa (zat dan obat2). Ini berguna untuk anda yang sedang mencari bahan dan data-data untuk dijadikan makalah atau pun skripsi. SELAMAT MENIKMATI.

Sakit jiwa

Seorang yang diserang penyakit jiwa (Psychose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa dirinya normal saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain.

Sakit jiwa itu ada 2 macam, yaitu :

Pertama : yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh. Misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar. hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat penyakit kotor dan sebagainya.

Kedua : disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar atau hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan sebagainya.

1.Schizophrenia

Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya, penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian pada umumnya, yang biasanya mulai tampak pada masa puber, dan paling banyak adalah orang yang berumur antara 15 – 30 tahun.

Gejala-gejala diantaranya :

  • Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tidak terlihat padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih dan takut. Segala sesuatu dihadapinya dengan acuh tak acuh.
  • Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikirannya. Dan ia lebih suka menjauhi pergaulan dengan orang banyak dan suka menyendiri.
  • mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar dan tidak beralasan, misalnya apabila ia melihat orang yang menulis atau membicarakan sesuatu, disangkanya bahwa tulisan atau pembicaraan itu ditujukan untuk mencelanya.
  • Sering terjadi salah tanggapan atau terhentinya pikiran, misalnya orang sedang berbicara tiba-tiba lupa apa yang dikatakannya itu. Kadang-kadang dalam pembicaraan ia pindah dari suatu masalah ke masalah lain yang tak ada hubungannya sama sekali atau perkataannya tidak jelas ujung pangkalnya.
  • Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, dimana penderita seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain (tetangga) membicarakannya, atau melihat sesuatu yang menakutkannya.
  • Banyak putus asa dan merasa bahwa ia adalah korban kejahatan orang banyak atau masyarakat. Merasa bahwa semua orang bersalah dan meyebabkan penderitaannya.
  • keinginan menjauhkan diri dari masyarakat , tidak mau bertemu dengan orang lain dan sebagainya, bahkan kadang-kadang sampai kepada tidak mau makan atau minum dan sebagainya, sehingga dalam hal ini ia harus diinjeksi supaya tertolong.

Demikian antara lain gejala Schizophrenia, dan tiap-tiap pasien mungkin hanya mengalami satu atau dua macam saja dari gejala tersebut, sedangkan dalam hal lain terlihat jauh dari kenyataan.

Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan

Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat bahwa keturunanlah yang besar peranannya. Menurut hasil beberapa penelitian terbukti bahwa 60% dari orang yang sakit ini berasal dari keluarga yang pernah dihinggapi sakit jiwa. Adapula yang mengatakan bahwa sebabnya adalah rusaknya kelenjar-kelenjar tertentu dalam tubuh. Ada yang menitik beratkan pandangannya pada penyesuaian diri yaitu karena orang tidak mampu menghadapai kesukaran hidup , tidak bisa menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga sering menemui kegagalan dalam usaha menghadapi kesukaran.

Apapun sebab sesungguhnya, namun terbukti bahwa kebanyakan penyakit ini mulai menyerang setelah orang setelah menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang berakibat munculnya penyakit yang mungkin sudah terdapat secara tersembunyi di dalam orang itu. Faktor pendorong lain ialah kesukaran ekonomi, keluarga, hubungan cinta, selain itu terdapat kegelisahan yang timbul akibat terlalu lama melakukan onani, sehingga merasa berdosa dan menyesal, sedang menghentikannya tak sanggup.

Penyakit ini biasnya lama sekali perkembangannya, mungkin dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, baru ia menunjukkan gejala-gejala ringan, tapi akhirnya setelah peristiwa tertentu, tiba-tiba terlihat gejala yang hebat sekaligus.

2.Paranoia

Paranoia merupakan penyakit ‘gila kebesaran’ atau ‘gila menuduh orang’. Diantara ciri-ciri penyakit ini adalah delusi yaitu satu pikiran salah yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi ini berbeda bentuk dan macamnya sesuai dengan suasana dan kepribadian penderita, misalnya :

  • Penderita mempunyai satu pendapat (keyakinan) yang salah, segala perhatiannya ditujukan ke sana dan yang satu itu pula yang menjadi buah tuturnya, sehingga setiap orang yang ditemuinya akan diyakinkannya pula akan kebenarannya pendapatnya itu. Misalnya ada seorang suami yang menyangka bahwa istrinya berniat jahat meracuninya. Maka selalu menghindar makan di rumah, karena takut akan terkena racun itu.
  • Penderita merasa bahwa ada orang yang jahat kepadanya dan selalu berusaha untuk menjatuhkannya atau menganiayanya.
  • Penderita merasa bahwa dirinya orang besar, hebat tidak ada bandingannya, meyakini dirinya adalah seorang pemimpin besar atau mungkin mengaku Nabi.

Delusi atau pikiran salah yang dirasakan oleh penderita sangat menguasainya dan tidak bisa hilang. Kecuali itu jalan pikirannya terlihat teratur dan tetap. Pada permulaan orang menyangka bahwa pikirannya itu logis dan benar., biasanya orang yang diserang paranoia ia cerdas, ingatannya kuat, emosinya terlihat berimbang dan cocok dengan pikirannya. Hanya saja ia mempunai suatu kepercayaan salah, sehingga perhatiaan dan perkataannya selalu dikendalikan oleh pikirannya yang salah itu.

Sebenarnya kita harus membedakan antara antara sakit jiwa paranoia yang sungguh-sungguh dengan kelakuan paranoid. Kelakuan paranoid yang juga abnormal juga diantaranya :

  • Terlihat sekali dalam segala tindakannya, bahwa ia egois, keras kepala dan sangat keras pendirian dan pendapatnya.
  • Tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangannya, selalu melempar kesalahan pada orang lain, dan segala kegagalannya disangkannya akibat dari campur tangan orang lain.
  • Ia berkeyakinan bahwa dia mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa. Ia berasal dari keturunan yang jauh lebih baik dari orang lain dan merasa bahwa setiap orang iri, dengki dan takut kepadanya.
  • Dalam persaudaraan ia tidak setia, orang tadinya sangat dicintainya, akan dapat berubah menjadi orang yang sangat dibencinya oleh sebab-sebab yang remeh saja.
  • Orang ini tidak dapat bekerja dan mempunyai kepatuhan pada pimpinan. Karena ia suka membantah atau melawan dan mempnuayai pendapat sendiri, tidak mau menerima nasehat atau pandangan dari orang lain.

3. Manicdepressive

Penderita mengalami rasa besar/gembira yang kemudian kemudian menjadi sedih/tertekan. Gejalanya yaitu :

a.Mania, yangmempunyai tiga tingkatan yaitu ringan (hipo), berat (acute) dan sangat berat (hyper).

Dalam tindakannya orang yang diserang oleh mania ringan terlihat selalu aktif, tidak kenal payah, suka penguasai pembicaraan, pantang ditegur baik perkataan maupun perbuatannya, tidak tahan mendengar kecaman terhadap dirinya.biasanya orang ini suka mencampuri urusan orang lain.

Dalam mania yang berat (acute), orang biasanya di serang oleh delusi-delusi pada waktu-waktu tertentu, sehingga sukar baginya untuk melakukan suatu pekerjaan dengan teratur. Penderita mengungkapkan rasa gembira dan bahagianya secara berlebihan. kadang-kadang diserang lamunan yang dalam sekali, sehingga tidak dapat membedakan tempat, waktu dan orang disekelilingnya.

Dalam hal mania yang sangat berat (hyper) orang yang diserangnya kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri dan mungkin membahayakan orang lain dalam sikap dan perbuatannya.

Penyakit ini dinamakan juga ‘gila kumat-kumatan’, karena penderita berubah-ubah dari rasa gembira yang berlebihan, sudah itu bisa kembali atau menurun menjadi sedih, muram dan tak berdaya.

Dalam hal pertama penderita berteriak, mencai-maki, marah marah dan sebagainya, kemudian kembali pada ketenangan biasa dan bekerja seperti tidakl ada apa-apa.

b.Melancholia

penderita terlihat muram, sedih dan putus asa. Ia merasa diserang oleh berbagai macam penyakit yang tidak bisa sembuh,atau merasa berbuat dosa yang tak mungkin diampuni lagi. Kadang-kadang ia menyakiti dirinya sendiri.

Orang yang diserang penyakit melancholia ringan sering mengeluh nasibnya tidak baik dan merasa tidak ada harapan lagi. Dan bagi penderita melancholia berat menjauhkan dirinya dari masyarakat.

Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa yang membuktikan betapa besar akibat terganggunya kesehatan mental seseorang, yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.

Pengenalan akan Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa

Tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang terbebas sama sekali dari kemungkinan untuk menjadi penderita gangguan kejiwaan. Dalam pemakaian "defense mechanism" misalnya, barangkali dapat dikatakan bahwa perbedaan normal dan abnormal hanya terletak pada frekuensi dan intensitas dari penggunaan defense itu. Begitu juga dengan gejala dan tanda-tanda yang abnormal pada umumnya. Hampir setiap orang yang tergolong normal pada saat-saat tertentu dan dalam kondisi hidup yang tertentu pernah menunjukkan gejala abnormal dalam sikap, cara berpikir, dan tingkah laku mereka.

Oleh karena itu, hamba-hamba Tuhan sebagai konselor harus berhati- hati dalam mengenali dan mengklasifikasikan klien dalam kelompok orang-orang yang disebut penderita gangguan kejiwaan.

Hal ini disebabkan oleh karena:

-- Tanda-tanda dan gejala-gejala abnormal yang klien tunjukkan belum tentu gejala penyakit jiwa yang sesungguhnya sehingga

-- Kita menyadari keterbatasan dan kelemahan manusiawi dokter- dokter jiwa dan petugas rumah sakit jiwa yang sering kali salah men-diagnosa klien/pasien.

D.N. Rosenhan telah membuktikan hal ini dengan eksperimen- eksperimennya, yang seharusnya membuat setiap hamba Tuhan lebih waspada dan berhati-hati dalam mengirimkan pasien ke rumah sakit jiwa. ==contoh dipotong==

Ini tidak berarti bahwa hamba Tuhan tidak perlu bekerja sama dengan psikiater dan rumah sakit jiwa, karena hal tersebut di atas menunjukkan kepada kelemahan manusiawi si dokter dan pihak rumah sakit jiwa dan bukan menunjukkan pada "ketidakbenaran" ilmu psikatri dan psikologi itu sendiri. Kelemahan-kelemahan manusiawi dari profesional-profesional lain justru menyadarkan hamba-hamba Tuhan betapa besar tanggung jawab mereka dalam pelayanan konseling. Untuk itu ia harus mempunyai pengenalan umum tentang gejala-gejala dan tanda-tanda utama dari penyakit jiwa.

a. Beberapa gejala yang muncul secara bersamaan.

Bagi orang yang tergolong normal, gejala abnormal biasanya muncul sebagai satu-satunya gejala, sedangkan aspek-aspek hidup lainnya tidak menunjukkan gejala abnormal.

Misalnya:

Oleh karena tekanan kehidupan, seorang dapat menangis meraung- raung; tetapi begitu muncul orang lain ia sadar dan tahu mengontrol ataupun mengarahkan tangisan itu pada tujuan yang rasional dan dapat diterima oleh lingkungan itu pada umumnya.

Tapi lain halnya dengan penderita penyakit. Beberapa gejala abnormal muncul dan nampak secara bersamaan; ia menangis meraung- raung, tidak menyadari bagaimana pikiran orang lain terhadap tingkah lakunya dan ia mengarahkan tangisan itu pada sesuatu yang kacau dan irrasional.

b. Gejala-gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya.

Munculnya gejala itu membuat orang yang bersangkutan lain daripada sebelumnya. Orang-orang lain mengenali bahwa ia sesungguhnya tidak seperti itu, dan seharusnya tidak melakukan tingkah laku yang semacam itu.

Misalnya:

-- Bermain-main dengan kotorannya sendiri, bahkan kadang-kadang dimakannya.

c. Gejala-gejala itu bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus.

Orang yang normal dapat bertingkah laku abnormal, tetapi akan segera menyadari dirinya dan cenderung untuk segera menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan lingkungannya. Tetapi lain halnya dengan penderita penyakit jiwa.

Di samping itu penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui gejala- gejala:

1. Physical (fisik/badani)

Banyak sekali gejala kejiwaan (seperti misalnya, perasaan tidak aman, sedih, marah, cemas, dsb.) yang langsung dapat mempengaruhi kondisi tubuh orang yang bersangkutan. Jikalau orang tersebut kemudian menderita sakit, maka jelas penyakit itu pertama-tama disebabkan oleh keadaan kejiwaannya. Ini yang seringkali disebut sebagai 'psychosomatic' atau 'psychophysiological reaction', yaitu gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya (tidak selalu) tergolong 'psychosomatic reaction' antara lain: asma, sakit kepala, insomnia, radang usus besar, diarrhea, beberapa penyakit kulit seperti: eksem, gatal-gatal, borok yang tidak sembuh-sembuh, dsb.

Tentu saja orang-orang dengan gejala psyhosomatis tidak begitu saja dapat digolongkan sebagai penderita sakit jiwa, meskipun gejala- gejala itu timbul oleh karena gangguan-gangguan kejiwaan. Sebagian besar dari gejala-gejala ini ada pada orang-orang yang normal, oleh karena itu meskipun memerlukan pengobatan dari dokter, mereka tidak boleh sama sekali diperlakukan sebagai pasien-pasien penyakit jiwa.

2. Psychological (jiwani)

Penyakit dan gangguan kejiwaan biasanya juga diekspresikan secara jiwani misalnya:

i. Faulty Perception (persepsi yang kacau) Manusia diperlengkapi dengan bermacam-macam indera. Jikalau rangsangan tiba, maka rangsangan itu akan diteruskan melalui sistem persyaratan ke otak. Dengan inilah orang dapat melihat, mengenali, mendengar suara, merasa panas dingin, sakit, mencium bau, dsb. Tetapi, ada kasus-kasus kejiwaan yang kadang-kadang dapat menyebabkan terganggunya proses persepsi ini sehingga orang tersebut dengan mata, hidung, telinga, lidah dan kulit yang normal ternyata mempunyai persepsi yang berbeda bahkan kacau balau. Ia bisa seolah-olah buta (psychological blindness), tidak dapat mendengar apa-apa, atau selalu mendengar suara yang orang lain tidak dengar, dan melihat penglihatan yang orang lain tidak lihat. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan orang merasa lampu 20 watt dalam kamar itu terlalu terang, atau suara titik air yang jatuh satu per satu dari kran sebagai suara pukulan palu di kepalanya, dsb.

Dari sini kita mengenal istilah-istilah seperti:

-- Ilusi, yaitu penyalahtafsiran stimulan pada indera penglihatan. Misalnya: Melihat pohon sebagai orang.

-- Halusinasi, yaitu persepsi yang terjadi meskipun tidak ada stimulan yang sesungguhnya. Misalnya:

  • Melihat suami yang sudah meninggal, bahkan dapat berkata-kata kepadanya.
  • Mendengar suara-suara aneh, dsb.

ii. Distorted thinking (pemikiran yang menyimpang dan kacau)
Gangguan kejiwaan sering kali juga diekspresikan dalam bentuk pemikiran yang kacau dan tidak masuk akal.

Misalnya:
-- Si Amir yang yakin bahwa ia lahir 2000 tahun yang lalu.
-- Si Ahmad yang begitu yakin bahwa di bawah tempat tidurnya
ada bom waktu yang dipasang oleh anak buah Khomeini.

Inilah yang disebut 'distorted thinking', yang menjadi salah satu tanda dari gangguan kejiwaan.

Melihat isinya, 'distorted thinking' dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu:

-- Obession (obsesi): yaitu pemikiran yang irasional yang timbul karena dorongan dan kenangan yang tidak menyenangkan, sehingga seolah-olah ada sesuatu yang membuat dia terus-menerus berpikir, "...saya harus..." atau "pasti akan...", dsb. Misalnya: Pengalaman melihat orang yang dianiaya dalam peperangan, menyebabkan ia berpikir "pasti suatu hari saya akan mengalami hal yang serupa". Ia begitu yakin di luar rumah sudah menanti orang-orang yang akan menganiaya dia, sehingga ia terdorong untuk terus-menerus melakukan hal-hal yang irasional, seperti bersembunyi di bawah kolong, mengintip melalui lubang pintu, dsb.

Pengalaman dengan orangtua yang perfectionist, membuat ia selalu merasa ada dorongan "saya harus membereskan ini", "saya harus menyelesaikan itu"; dan ini sering kali tidak masuk akal, misalnya, bangun tengah malam hanya untuk membersihkan mobil, dsb.

-- Phobia: yaitu rasa takut yang irasional. Dan ini bisa berbentuk rasa takut berada dalam ruangan gelap, rasa takut pada darah, air, ular, angin, di tengah banyak orang, berada di tempat tinggi, lewat jembatan, dsb.

-- Delusion (delusi): yaitu pemikiran yang irasional yang menggejala dalam bentuk munculnya keyakinan (palsu) bahwa hal itu benar-benar ia alami, atau ia dengar, atau ia lihat, dsb. Misalnya: Yakin betul bahwa ia bertemu dengan Tuhan Yesus, bahkan yakin betul bahwa ia sendiri telah diangkat menjadi rasul dan menuntut orang-orang lain mengikut dan menyembah dia.

iii. Faulty Emotional Expression (Ekpresi dari emosi yang keliru)
Setiap orang sudah belajar sejak kecil bagaimana mengekspresikan perasaan senang, susah, sakit, bahagia, kasih, benci, dsb. Dan umumnya orang yang normal mempunyai pengekspresian yang mirip dengan orang-orang lain. Misalnya, tertawa sebagai ekspresi dari rasa sedih. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, mereka seringkali melakukan pengekspresian emosi secara keliru, dan tentunya berbeda daripada orang-orang pada umumnya.

Pengekspresian emosi yang keliru ini dapat berbentuk:
a. Tanpa ekspresi Penderita sakit jiwa seringkali hidup dalam dunianya sendiri, sehingga emosinya tidak tergerak oleh keadaan dan situasi di sekelilingnya. Mereka tidak tertawa atas hal-hal yang lucu dan menyenangkan, juga tidak sedih atas hal-hal yang menyedihkan.

b. Elation atau Euphoria (ekspresi/gembira yang berlebih-lebihan) Penderita sakit jiwa juga sering kali mengekspresikan emosi secara berlebih-lebihan. Untuk hal yang kecil dia bisa tertawa sampai menangis.

c. Depresi Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa mengalami/merasa tidak bergairah, kecil hati dan susah, tetapi hanya untuk sementara saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan penderita sakit jiwa. Ada kasus-kasus di mana tanpa alasan yang jelas perasaan sedih itu timbul tenggelam dan bahkan bertahan lama. Mereka memang dapat mengatakan bahwa mereka kuatir terhadap sesuatu (entah pekerjaan, keluarga, kesehatan, masa depan, dll.) tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan penyebab utama dari kekuatiran yang berlebih-lebihan itu. Hal-hal itu hanyalah 'precipitating factor' yang menjadi gangguan kejiwaan oleh karena sudah ada 'predisposing factor' pada mereka itu. Oleh karena itu, hal-hal yang bagi orang lain cuma menimbulkan perasaan sedih yang normal dan untuk sementara, bagi mereka menjadi "depresi" dimana putus asa dan tidak bahagia yang terus-menerus.

Enos D. Martin seorang psikiater menyebutkan tentang tiga jenis depresi dengan contoh-contoh praktis:

-- normal grief reaction (rasa sedih sebagai reaksi yang normal atas suatu 'kehilangan') Seorang pendeta yang mendekati masa pensiun merasa sedih oleh karena munculnya perasaan 'tidak berguna dan tidak dapat dipakai lagi'. Tekanan kesedihan itu telah menimbulkan macam- macam gangguan seperti misalnya kehilangan nafsu makan, tidak bisa tidur, sakit kepala, dsb. Ternyata setelah majelis gereja menyatakan bahwa pensiun baginya cuma berarti bahwa ia tidak perlu lagi mengerjakan tugas-tugas administrasi (yang berarti bahwa ia masih boleh berkotbah, melakukan konseling, dsb.) langsung gejala-gejala kejiwaan itu lenyap.

-- neurotic depression (depresi yang neurotis) Pendeta X mengalami depresi oleh karena sebagai pendeta senior ia merasa tersaing dengan munculnya pendeta muda yang dalam beberapa hal sangat dikagumi oleh jemaat. Ia tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, dsb. Penghiburan dari banyak orang bahwa ia mempunyai lebih banyak kelebihan ternyata tidak menolong. Dalam kasus ini jelas bahwa kesedihannya bukan sekedar 'normal grief reaction', ia betul-betul menderita depresi dan harus mendapatkan pengobatan dari dokter. Diketemukan oleh dokter jiwa bahwa pendeta ini ternyata mempunyai 'predisposing faktor' untuk depresi, seperti misalnya, kegoncangan emosi cukup hebat pada masa kecil ketika ia sakit dan harus masuk rumah sakit, juga faktor lain bahwa semasa kecilnya ia kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya.

-- endogenous depression (bakat depresi yang diturunkan dari orang-tuanya) Pendeta Y mengalami depresi oleh karena usahanya untuk mendamaikan dua orang tokoh gerejanya tidak berhasil, bahkan berakibat fatal, yaitu kedua-duanya justru menyalahkan dia. Ia sekarang merasa bahwa seluruh kehidupannya termasuk pelayanannya gagal. Ia kemudian menderita insomnia (tidak dapat tidur), kehilangan nafsu seksuil, nafsu makan, tidak ada gairah lagi pada segala hobinya, sering menangis dan menjauhkan diri dari perjumpaan dengan orang lain bahkan berkali-kali mencoba untuk bunuh diri. Diketemukan pada pendeta ini, adanya 'predisposing factor' depresi yang lebih berat dari pendeta X; karena pendeta Y mempunyai bakat-bakat biologis yang diturunkan dari orangtuanya. Ibunya juga seorang penderita depresi berat. ("What is Depression", Leadership, Winter 1982, Vol. III, No. 1, pp. 82-83).

d. Emotional variability (macam-macam pengekspresian emosi)
Setiap orang akan mengalami naik turunnya emosi sebagai reaksi atas pengalaman-pengalaman kehidupan ini. Tetapi bagi penderita penyakit jiwa naik turunnya emosi ini tidak sesuai dengan realita yang ada. Mungkin pengalaman yang menyenangkan ini sudah terjadi beberapa hari yang lalu dan tiba-tiba ia bisa tersenyum-tersenyum bahkan tertawa-tawa tanpa dapat dikontrol oleh karena ingat akan hal itu. Sering juga diketemukan penderita penyakit jiwa yang menangis tanpa alasan untuk menangis, atau tiba-tiba marah dan menyerang orang lain tanpa sebab, dsb.

e. Inappropriate affect (reaksi emosi yang tidak tepat)
Sedikit berbeda dengan 'emotional variability', di sini orang yang mendapat gangguan kejiwaan biasanya memberikan reaksi emosi yang tidak cocok dengan stimulan yang ada. Misalnya: -- Menangis mendengar cerita yang lucu -- Tertawa geli melihat orang yang sedih menangis ditinggalkan kekasihnya.

iv. Unusual motor activity (activitas motorik yang tidak normal)
Dalam kehidupan ini kita kadang-kadang dapat melakukan aktivitas motorik yang tidak biasa, misalnya: berlari, berkata, berpikir, berbuat lebih cepat atau lebih lambat daripada biasanya. Tetapi untuk itu selalu ada alasan dan tujuan yang jelas dan disadari, dan hanya untuk sementara saja, tetapi lain halnya dengan penderita penyakit jiwa. Sering kali kita bisa mengenali adanya tanda-tanda gangguan kejiwaan melalui aktivitas motorik yang tidak normal, misalnya:

a. Over activity (activitas yang berlebihan)
Sebagai contoh, pasien yang berbicara terus-menerus dengan susunan kalimat yang tidak mengandung pengertian sama sekali (kacau, dan irasional). Ketidakmampuan untuk duduk tenang, terus- menerus gelisah; terkejut bahkan lari ketakutan atas suara tertentu; tangan dan kaki bahkan mata yang bergerak-gerak terus, dsb.

b. Under activity (kurang aktif)
Sebagai kebalikan dari 'over activity', maka gejala penyakit jiwa sering kali ditandai oleh sikap diam, tidak bergerak-gerak, seperti seolah-olah lemah badan, tidak dapat berbicara, dsb.

c. Compulsive activity (aktivitas yang tidak terkendalikan)
Dalam hidup ini sering kali kita merasakan adanya dorongan yang besar untuk melakukan sesuatu, tetapi sering kali oleh karena sebab-sebab tertentu hal itu belum dapat dilaksanakan. Bagi orang yang normal hal ini biasa dan ia bisa menyesuaikan diri dengan mengalihkan perhatian pada aktivitas-aktivitas yang lain. Tetapi pada penderita penyakit jiwa tidak demikian, mungkin apa yang ia ingin lakukan sendiri tidak ia sadari lagi, tetapi ia merasakan adanya dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu aktivitas. Dan ini diekspresikan dengan menggigit-gigit kuku terus-menerus, menggaruk-garuk kaki, mempermainkan alat kelamin, menggigit-gigit bibir, melipat-lipat tangan, menulis-nulis dengan jari, menghisap ujung baju, dsb.

v. Gejala abnormal yang lain
Tanda-tanda lain dari adanya gangguan kejiwaan dalam ketegori ini sering kali dapat diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan tidak menyamaratakan setiap gejala sebagai abnormal atau gejala penyakit jiwa. Misalnya:

  • -- Disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa dirinya, hari apa sekarang, dsb.
  • -- Withdrawal; menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain.
  • -- Kecurigaan yang berlebih-lebihan.
  • -- Kepekaan yang berlebih-lebihan terhadap otoritas.
  • -- Menyembunyikan sesuatu secara tidak normal, misal, uang disimpan di bawah tanah.
  • -- Rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal.
  • -- Kekanak-kanakan, dsb.

3. Sosial

Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Meskipun demikian, tidak secara otomatis orang yang "tidak dapat menyesuaikan diri" dapat disebut sebagai orang yang tidak normal atau punya gejala penyakit jiwa, jikalau ia dengan sadar melakukan hal itu. Yang mungkin oleh karena ia memang tidak/belum menjadi bagian integral dari masayarakat itu. Kasus-kasus seperti misionaris konteks sosial, kita baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya.

4. Spiritual (rohani)

Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan, fanatik, keragu-raguan yang terus-menerus, dsb. Frank Minirth mengatakan bahwa gangguan-gangguan kejiwaan bisa menggejala secara rohani:

"A person with an impending psychotic break may display an intense religious preoccupation. Someone having an obsessive compulsive neurosis may struggle with a fear of having committed the unpardonable sin. Or he may fear he hasn't really trusted Christ as Savior. Emotional and physical problems manifest still another spiritual cloaks. Individuals with temporal lobe epilepsy may communicate renewed religious interest and moral piety. Those with a manic-depressive psychosis may talk in a religious jargon. People diagnosed as having schizophrenia, obsessive-compulsive, ego-alien thought, and multiple personalities are sometimes victims of demon-possession." ("Why Christians Crack-Up". Moody Monthly. Feb. 1982. p.13)

amputasi

amputasi

Berikut adalah kumpulan artikel tentang pasien yang diamputasi. Ini berguna untuk anda yang sedang mencari bahan dan data-data untuk dijadikan makalah atau pun skripsi. SELAMAT MENIKMATI.

Amputasi

Amputasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menyelamatkan seluruh tubuh dengan mengorbankan bagian tubuh yang lain. Terdapat berbagai sebab mengapa dilakukan amputasi. 70% amputasi dilakukan karena penyumbatan arteri yang sebagian besar disebabkan oleh diabetes melitus; 30% amputasi dilakukan karena adanya trauma; 5% amputasi dilakukan karena adanya tumor dan 5% lainnya karena cacat kongenital.

90% dari orang yang diamputasi mengalami apa yang disebut sebagai phantom pain. Phantom pain adalah rasa sakit, nyeri, gatal atau sensasi lainnya yang dirasakan pada bagian tubuh yang diamputasi dan seolah-olah bagian tubuh tersebut masih ada.

Tidak diketahui secara pasti penyebab dari phantom pain namun diperkirakan bahwa asal mula fenomena misterius ini adalah dari bagian otak yang bernama cortex somatosensorik. Cortex somatosensorik merupakan bagian otak yang menyimpan semua peta somatotopik yang berisi mengenai bagian-bagian tubuh kita.

Pada pasca amputasi terjadi perubahan peta somatotopik akibat kehilangan salah satu bagian dari peta tersebut. Ini mengakibatkan otak meresponsnya dengan menyambung kembali sirkuit-sirkuit yang tidak lagi menerima impuls dari bagian yang diamputasi. Adanya perubahan ini mungkin akan menimbulkan impuls yang akhirnya dipersepsikan sebagai nyeri. Peristiwa ini juga berkaitan dengan fluktuasi tiga substrat penting yaitu kortisol, serotonin, dan substansi P yang mempengaruhi proses neuroplastisitas, memori, dan nyeri. Perubahan-perubahan inilah yang menjadi penyebab terjadinya phantom pain.

Namun, kehilangan anggota badan tidak berarti kehilangan representasinya di otak. Teori Neuromatriks dari Melzack mengenai adanya engram pada fenomena phantom menyatakan bahwa tubuh adalah sebagai kesatuan bagian dari diri sendiri. Persepsinya tidak akan hilang dan pada kondisi tertentu akan dimunculkan kembali ke perrnukaan.

Dalam perjalanan waktu, pasca amputasi anggota gerak akibat trauma pada manusia dewasa, terjadi perubahan signifikan pada karakteristik fenomena phantom yang merupakan konsekuensi neuroplastisitas sentral. Adaptasi sentral berkaitan dengan adaptasi perifer yang diikuti penumpukan kadar kortisol, substansi P, dan peningkatan serotonin dalam masa 6 bulan pasca amputasi. Ditemukan perubahan signifikan menunjukkan adanya korelasi antara berbagai faktor fisik maupun kimiawi. Berbagai perubahan karakteristik ini dipercepat dengan penggunaan aktif prostesis fungsional. Dapat disimpulkan bahwa peran prostesis tidak hanya terbatas untuk aktifitas sehari-hari tapi terutama mempercepat perubahan karakteristik fenomena phantom.

Resiko phantom pain ini dapat meningkat apabila pasien mengalami nyeri sebelum amputasi. Telah diketahui bahwa orang yang mengalami nyeri pada bagian tubuh yang hendak diamputasi mempunyai kecenderungan untuk mengalami phantom pain segera setelah amputasi dilakukan. Hal ini mungkin terjadi karena otak masih menyimpan memori nyeri yang dirasakan dan terus mengirimkan sinyal nyeri walaupun bagian tubuh itu sudah tidak ada lagi. Lamanya phantom pain ataupun derajatnya berbeda pada masing-masing orang.

Bagaimana penatalaksanaan bagi pasien-pasien dengan phantom pain ini??
Sebetulnya tidak ada penatalaksanaan baku untuk kasus seperti ini. Obat-obatan seperti golongan antidepressan, anticonvulsan, dan opioid dapat menjadi pilihan.

Terapi lainnya yaitu dengan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation). Pada TENS terdapat sebuah perangkat yang dapat menghambat impuls nyeri untuk sampai ke otak. Walaupun terapi ini aman dan tidak sakit, namun tidak semua kasus phantom pain dapat diatasi dengan metode ini.

Selain itu dapat juga dilakukan akupuntur, densitisasi pada bagian yang diamputasi, dan dengan mirror therapy. Pada mirror therapy, pasien dihadapkan pada kaca sehingga ia dapat melihat bahwa bagian tubuh yang sakit itu sebenarnya sudah tidak ada lagi.

Penelitian mengenai phantom pain kini masih terus berkembang dan diharapkan akan membawa kepada suatu penemuan baru dalam usaha penanggulangan fenomena ini.

Sumber:
Chan, Brenda L., Richard Witt, et al. The New England Journal of MedicineVolume 357:2206-2207 : “Mirror Therapy for Phantom Limb Pain”.
Halstead,Lauro S., Martin Grabois. Medical Rehabilitation. New York : Raven Press.
www.mayoclinic.com

Gara-gara Pengobatan Alternatif, Kaki Harus Amputasi

BANDUNG, RABU - Akibat berobat di tempat pengobatan alternatif, Ade Peri Hidayat (31), warga Kampung Sukasari Cebek Soreang, Kabupaten Bandung, harus merelakan kaki sebelah kirinya diamputasi.

"Saat ini, kondisi kaki sebelah kiri milik Ade telah berwarna hitam dan mengeluarkan bau daging busuk," ucap istrinya, Ida (28), di Ruang Perawatan Ortopedi Lantai 2, Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung (RSHS), Selasa.

"Awalnya suami saya jatuh dari motor, terus kakinya terkilir. Lalu saya bawa berobat di tempat urut di daerah Cikalong Wetan dan ternyata bukannya sembuh malah jadi busuk," katanya kepada para wartawan.

Menurutnya, setelah dibawa ke tukang urut di daerah Cikalong Wetan, kaki suaminya dibalut oleh perban serta dilakukan pembebatan dengan menggunakan bambu di bagian kaki yang mengalami luka.

Ia menjelaskan, tujuan dilakukan pembebatan dengan menggunakan bambu untuk mengembalikan posisi tulang kaki suami supaya kembali pada keadaan normal.

Namun, setelah dilakukan pembebatan dengan menggunakan kayu tersebut, selama 10 hari, dari tanggal 1 hingga 10 Oktober 2008,bukanlah kesembuhan yang diterima oleh suaminya, melainkan tulang kering kaki sebelah kiri suaminya berubah berwarna hitam serta dagingnya menjadi busuk.

Salah seorang dokter spesialis ortopedi RSHS Bandung, dr Widya A Sp OT, mengatakan, sebenarnya kaki Ade dapat diselamatkan tanpa melakukan amputasi jika ditangani dengan baik dan sesuai prosedur medis.

Widya mengemukakan, kasus yang dialami Ade sebenarnya dapat diatasi dengan cepat jika tahu cara penanganan yang tepat.

Ia menyatakan, penyebab pembusukan pada kaki Ade karena proses pembebatan yang dilakukan terlalu berlebihan.

"Bisa saja, pas dilakukan pembebatan dengan kayu tadi, diikatnya terlalu kencang, lalu darah tidak mengalir ke bagian tersebut sehingga otot kakinya berwarna hitam dan busuk," kata Widya.

Dari peristiwa tersebut, ia berpesan supaya masyarakat lebih berhati-hati jika ingin berobat dengan metode pengobatan alternatif.

Namun, ia juga menyatakan, bukan berarti semua pengobatan alternatif akan berdampak negatif. "Tidak semua pengobatan alternatif berakibat buruk" tegasnya.

Madu Cegah Amputasi Pasien Diabetes

Mengoleskan madu pada bagian kaki yang luka, merupakan alternatif untuk menghindari terjadinya amputasi pada pasien diabetes. Hal tersebut dibuktikan oleh seorang dokter dari Universitas Wisconsin, AS, yang berhasil membantu pasien-pasiennya menghindari amputasi. Kini ia berencana menyebarkan terapi madu tersebut.

Menurut Profesor Jennifer Eddy dari University School of Medicine and Public Health, madu bisa membunuh bakteri karena sifat asamnya, selain itu madu juga efektif menghindari sifat kebal bakteri akibat penggunaan antibiotik. "Ini adalah hal yang penting dalam dunia kesehatan," katanya. Dalam terapi madu ini, bagian yang luka baru bisa diolesi setelah kulit mati dibersihkan.

Pasien diabetes memang seharusnya sejak dini memerhatikan secara serius bagian kaki, terutama untuk mencegah terjadinya luka yang berlanjut dengan infeksi. Memberi perhatian serius pada kaki dengan melakukan kontrol yang baik terhadap penyakit diabetes yang diidap disebabkan timbulnya gangguan pada kaki penderita diabetes.

Gangguan itu berupa kerusakan pada saraf dan kerusakan pembuluh darah dan infeksi yang membuat penderita diabetes mengalami mati rasa (baal) pada kakinya. Karena itu, biasanya penderita diabetes tidak menyadari terjadinya luka pada kaki karena tak langsung tampak.

Terapi madu telah digunakan sebagai pengobatan alternatif di Eropa, bahkan di Selandia Baru terapi ini dipakai untuk mengobati sulit tidur. Profesor Eddy mulai tertarik untuk mencoba terapi madu setelah mengetahui tradisi penggunaan madu dalam dunia pengobatan masa lampau.

Ia mulai melakukan uji coba sejak enam tahun lalu. "Saya mulai mencoba terapi ini setelah segala pengobatan gagal. Sejak kami memakai madu, penggunaan semua jenis antibiotik kami hentikan dan berhasil," katanya. Sampai saat ini penelitian tersebut masih berlanjut dan diharapkan selesai pada tahun 2008 atau 2009.

Monday, April 20, 2009

pendidikan 2009

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)



Trik menjadi murid sukses

Menjadi murid yang sukses tentu merupakan harapan kita semua. Baik itu murid sendiri maupun orang tuanya. Tetapi kenyataan di lapangan, murid yang sukses jumlahnya sangat sedikit. Ini tentu timbul pertanyaan mengapa demikian ?. Berdasarkan Human Development Index (HDI) Indonesia menempati peringkat 151, kalah jauh dengan negara-negara tetangga. Ini tentu sangat memprihatinkan. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak para murid menjadi orang yang sukses, bagaimana caranya ? Berikut ini beberapa triks yang bisa digunakan yaitu :

  1. Merasa butuh dengan pelajaran

    Ada seorang nenek yang umurnya sangat lanjut. Selama hidup dia tidak pernah mengenal bangku sekolah. Tetapi dia bisa membedakan nilai mata uang rupiah dan bisa melakukan transaksi keuangan walaupun dia buta huruf. Kenapa bisa terjadi ? Hal ini disebabkan karena si nenek merasa butuh untuk mengenal nilai mata uang dalam kehidupan sehari-hari. Contoh lain warga suatu desa tidak pernah belajar konstruksi jembatan tetapi mereka bisa membuat jembatan dari bambu. Hal ini disebabkan karena warga tersebut butuh dengan jembatan itu untuk menghubungkan dengan desa sekitarnya sehingga mereka berusaha keras untuk belajar membuat jembatan. Mengapa murid kita tidak bisa menguasai materi pelajaran walaupun mereka belajar bertahun-tahun ? Hal ini dikarenakan para murid tidak merasa butuh dengan materi pelajaran tersebut. Murid kita tidak bodoh, mereka bahkan pintar, hal ini terlihat ketika murid kita dengan mudahnya menguasai game-game PS yang cukup sulit. Hal ini dikarenakan mereka butuh bisa untuk memainkan permainan PS tersebut. Jadi kunci untuk menjadi murid yang sukses adalah merasa butuh dengan pelajaran.

  2. Senang dengan pelajaran

    Jika seseorang anak lelaki senang dengan seorang anak perempuan maka anak lelaki tersebut akan berupaya untuk mendapatkan hati si anak perempuan dengan berbagai cara sampai dia berhasil. Demikian juga seseorang yang senang main gitar maka ia akan terus bermain walaupun membutuhkan waktu yang lama. Tidak ada rasa bosan jika seseorang menyenangi sesuatu. Nah, kunci sukses yang kedua adalah murid harus merasa senang dalam belajar. Belajar tidak dikarenakan paksaan dari pihak luar seperti guru dan orang tua. Belajar berjalan dengan sendirinya karena dia menyenangi pelajaran itu.

  3. Buat kebiasaan yang baik

    Setelah kamu merasa butuh dan menyenangi pelajaran maka kunci yang ketiga adalah selalu membuat kebiasaan yang baik. Kebiasaan yang baik itu antara lain semangat untuk terus maju, mempunyai kedisiplinan dalam segala hal, mempunyai etos kerja yang tinggi dan suka membaca, menulis dan berkreasi.

  4. Peniru yang kreatif

    Agar bisa melakukan sesuatu maka jadilah peniru yang kreatif. Mengutip pendapat Romi Satrio Wahono, gunakanlah falsafah ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). Amati yang mau dicontoh, kemudian buat seperti yang ditiru dan dilanjutkan dengan melakukan modifikasi dari aslinya.

  5. Religi

    Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, dimana kemampuan manusia hanya berusaha tetapi Tuhanlah yang menentukan. Setelah kita kerja keras maka hasil akhir pasrahkan pada yang Kuasa dengan berdoa dan melaksanakan semua kewajiban.

Itulah lima triks agar anda sebagai murid sukses. Selamat mencoba.



Mencari keberadaan anak berkebutuhan khusus untuk memfasilitasi pendidikannya

Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa.

Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak.

Angka dimaksud tentunya cukup signifikan menjadi sasaran perluasan dan pemerataan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat guna menyumbang APM SD/MI/Paket A yang saat ini telah mencapai 94,90 % dan APM SMP/MTs/Paket B mencapai 92,52% (sumber: naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan Harkitnas Mei 2008) menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008.

Kebijakan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa merupakan realisasi terhadap amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya”.

Kemudian ditindaklajuti dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) bahwa ”warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”, dan pasal 7 ayat (2) bahwa ”Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.

Atas dasar ketentuan di atas, maka dalam rangka menyukseskan program wajib belajar dan merealisasikan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat perlu ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar juga disemangati oleh seruan international Education Far All (EFA) dan dikumandangkan oleh UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di DAKAR, Senegal tahun 2000.

Oleh karena itu pemerintah memberi peluang kepada anak berkelainan/cacat melalui pendidikan secara segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB dan melakukan terobosan dengan memberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD/MI,SMP/MTs/SMA/MA dan SMK/MAK) yang disebut "Pendidikan Inklusif (inclusive education)”.

Namun di luar dugaan keberadaan anak cacat tersebut masih harus terus dicari di bumi pertiwi ini. Menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusif (sumber data: Direktorat PSLB).

Dengan demikian masih terdapat 233.199 (72,65%) anak cacat yang tinggal di desa, kecamatan dan kabupaten/kota belum mengenyam pendidikan. Oleh karena itu upaya pemerataan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Banyak penyebab mengapa jumlah anak cacat yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain:

  1. Orang tua cenderung menyem-bunyikan keberadaan anaknya yang cacat di rumah, sehingga tidak mempedulikan lagi pendidikan anaknya. Hal ini dilakukan karena keluarganya malu jika terbuka aibnya, kendati mampu membiayai sekolah. Perilaku tersebut tentunya bertentangan dengan UUD 1945 (amande-men) pasal 31 ayat (1),(2) dan UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1), (2), pasal 7 ayat (2), pasa 32 ayat (1).
  2. Orang tua masih menerapkan paradigma lama bahwa menyekolahkan anak cacat kurang menguntungkan dipandang dari aspek ekonomi. Pada hal pendidikan merupakan investasi untuk masa depan anak, melalui proses pengajaran, penyebarluasan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga, serta penanaman nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidupnya.
  3. Kondisi ekonomi orang tuanya memang benar-benar miskin, sehingga tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya. Akibatnya keluarga mengambil keputusan hanya memprioritaskan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan anak cacat tersebar di desa dan kecamatan yang kemungkinan termasuk kategori daerah miskin yang dapat memicu bertambahnya penderita gizi buruk, yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kecacatan anak dalam kandungan ibunya. Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk penderita gizi buruk mencapai 4,42 juta jiwa.
  4. Belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, di sisi lain anak cacat tertentu memerlukan pendampingan orang tuanya ke sekolah. Hal ini menimbulkan problema baru yakni biaya transportasi menuju sekolah sangat tinggi yang memberatkan beban orang tuanya.
  5. Keberadaan anak cacat belum dapat diterima sepenuhnya belajar bersama dengan anak biasa, karena anak biasa takut tertular perilaku atau terganggu oleh faktor higiennitas kehidupan seharí-hari di kelas maupun dalam bermain.
  6. Upaya pemenuhan hak azasi anak cacat untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkelainan di seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air.
  7. Biaya satuan pendidikan bagi siswa anak berkelainan/cacat relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya satuan pendidikan untuk siswa biasa. Menurut hasil riset hal tersebut karena disamping anak cacat perlu fasilitas pendidikan pada umumnya, masih memerlukan pula alat pendidikan khusus, alat bantu khusus dan lainnya.
Beberapa permasa-lahan di atas secara bertahap dan berkelanjutan sebenarnya telah, sedang dan akan terus dicari dan diberikan solusinya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat PSLB, Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menyiapkan berbagai kebijakan dan/atau program, antara lain :

Pertama, penjaringan data anak cacat yang melibatkan berbagai unsur, antara lain: Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Peme-rintah Daerah Kabupaten/ Kota/ Provinsi, BPS Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Kantor Wilayah Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Agama, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi, Forum Komunikasi dan Asosiasi Peduli PLB serta LSM lainnya.

Kedua, pengembangan Sistem Informasi Manajemen Direktorat PSLB yang memiliki jaringan kerja dengan Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di seluruh provinsi. Melalui SIM ini diharapkan masing-masing dapat mengakses data dan informasi PLB secara timbal balik untuk kepentingan pembinaan sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Ketiga, pembangunan unit sekolah baru (USB) di kabupaten-kabupaten yang belum tersedia faslitas SLB, utamanya kabupaten yang telah menyiapkan lahan kosong yang memadai. Hal ini dipastikan dapat menampung anak cacat di desa dan kecamatan pada kabupaten yang bersangkutan. Jumlah SLB pada tahun 2006/2007 mencapai 1.569 sekolah, dimana 80,75% diantaranya SLB swasta (sumber data: Direktorat PSLB).

Keempat, memperluas implementasi program penyelenggaraan pendidikan inklusif (inclusive education), sehingga anak cacat yang tinggal di desa,kecamatan, kabupaten/kota memiliki peluang atas haknya untuk belajar bersama dengan siswa lain di sekolah reguler terdekat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Negeri ini pada tahun 2006/2007 mencapai 814 sekolah (TK,SD, SMP,SMA,SMK) yang berhasil menampung 15.181 anak cacat (sumber data: Direktorat PSLB).

Kelima, mensosialisasikan pentingnya pendidikan segregasi dan pendidikan Inklusif kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan, yang diharapkan dapat mengubah paradigma orang tua untuk segera memberikan peluang pemenuhan dan penyamaan hak azasi anak cacat mengenyam pendidikan, sehingga anak cacat dapat mengaktualisasikan potensi kecerdasan dan bakatnya demi masa depan.

Keenam, pembangunan ruang kelas baru (RKB), pembangunan aksessibilitas anak cacat menuju sekolah inklusif dan sekolah segregasi, subsidi beasiswa cacat yang miskin, biaya operasional sekolah (BOS), melengkapi alat pendidikan khusus, alat bantu khusus, menyediakan ruang sumber, bengkel, alat keterampilan, alat olah raga, perpustakaan, mengalokasikan dana riset terkait dengan penelitian PLB dan lainnya.

Ketujuh, bekerjasama dengan Ditjen PMPTK membahas, mengusulkan untuk menyiapkan tenaga pendidik sebagai guru khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah segregasi. Guru khusus sangat berperan untuk mengajar, membimbing, menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar di sekolah, sehingga kemandirian sekolah dapat dijamin. Jumlah kepala sekolah dan guru di SLB sampai dengan tahun 2006/2007 mencapai 16.961 orang (data: Direktorat PSLB).***


Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU

5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.

  1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
    range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.

  2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.

  3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.

  4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.

  5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.

Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?



Solusi mengatasi harga buku yang mahal

Hari pertama sekolah, siswa dan terutama orang tua dikejutkan dengan biaya pembelian buku pelajaran yang sangat memberatkan. Biaya yang harus dikeluarkan di beberapa sekolah mencapai Rp. 1 juta per semester (Kompas, Selasa 15 Juli 2008).. Satu angka yang cukup fantastis. Buku-buku teks yang dipakai di sekolah merupakan keluaran dari penerbit buku ternama yang umum dipakai di sekolah. Untuk menekan harga buku, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebenarnya telah menyiapkan buku digital sebanyak 49 judul di internet. Buku-buku tersebut dapat diunduh (download) di http://bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id, www.pusbuk.or.id dan www.sibi.or.id.

Namun keberadaan buku teks tersebut masih mendapatkan banyak kendala antara lain buku tersebut belum dapat diunduh dengan cepat, infrasruktur jaringan IT sekolah yang belum mendukung, kepemilikan komputer yang masih terbatas, biaya akses internet yang masih mahal dan banyak kepala sekolah dan guru yang tidak mengetahui program buku digital tersebut. Akibatnya buku teks digital belum banyak dipakai di sekolah.

Beredarnya buku teks pelajaran terbitan penerbit di sekolah sebenarnya disebabkan karena Bapak dan Ibu Guru tidak kreatif dan tidak mau susah dalam menyusun alat bantu pembelajaran sendiri dalam hal ini adalah buku pelajaran. Padahal salah satu point pengembangan profesi guru adalah menulis karya ilmiah. Melalui tulisan ini saya menghimbau kepada rekan-rekan guru marilah menyusun buku. Jika buku susah minimal modul atau diktat. Karena diktat yang kita susun sesuai dengan keinginan kita. Ibarat koki akan memasak dengan bumbu yang dipilih sendiri dan menu resep yang dibuat sendiri pula maka hasil masakan akan sesuai dengan yang diharapkan si koki.

Pengalaman saya, buku-buku yang dijual penerbit memiliki kelemahan. Apa itu ? Buku teks keluaran penerbit masing-masing memiliki kekurangan antara lain materi yang tidak lengkap, metode penyampaian materi yang kurang bagus, ketidakseimbangan antara teori dan praktek, latihan soal yang sedikit dan materi yang tidak update karena dicetak satu dua tahun yang lalu. Kalau mau ideal, maka seorang murid harus memiliki minimal 4 atau 5 buku dalam satu pelajaran. Salah satu cara agar Bapak dan Ibu guru menyusun diktat adalah perintah kepala sekolah.

Sebagai seorang yang memimpin sekolah, kepala sekolah dapat mewajibkan Bapak dan Ibu guru untuk menyusun diktat. Maka mau tidak mau, bapak dan ibu guru sebagai bawahan harus mematuhi. Tetapi ini dilakukan bertahap karena tidak semua guru memiliki kemampuan dalam menulis diktat. Atau bisa juga guru dalam mata pelajaran yang sama dapat berkolaborasi menyusun diktat. Referensi untuk menyusun diktat didapat dari berbagai sumber, bisa buku pelajaran keluaran penerbit, bisa download materi dari internet, bisa dari materi yang didapat pada saat forum ilmiah seperti seminar, workshop, pelatihan dll. Jika ada keinginan maka pasti ada kemauan, jika ada kemauan pasti ada usaha, jika ada usaha maka pasti ada hasil. Saya yakin, jika rekan-rekan guru terbiasa menggunakan diktat dalam proses belajar mengajar maka konsep buku mahal tidak akan terjadi lagi.

Teknis pemakaian diktat pada proses kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :

  1. Diktat dalam bentuk softcopy

    Diktat model ini dapat dilakukan jika sekolah memiliki laboratorium komputer dengan akses jaringan Local Area Network (LAN). File master diktat disimpan di server dan murid dapat mengakses dari komputer klien. File diktat boleh dalam bentuk microsoft Word dengan extensi doc, atau boleh dalam bentuk PDF (Portable Document File). Untuk keamanan dari serangan virus komputer lebih baik jika file diktat dalam bentuk PDF.

  2. Diktat dalam bentuk hardcopy

    Cara yang kedua dapat dilakukan dengan mencetak diktat dengan printer kemudian diperbanyak dengan foto copy. Ini dilakukan jika sekolah tidak memiliki laboratorium komputer dengan jaringan LAN. Cara yang kedua ini juga bisa dilakukan jika murid ingin belajar dimana saja tanpa tergantung dengan komputer.

  3. Diktat dalam bentuk softcopy dan hardcopy

    Cara yang ketiga adalah kombinasi dari cara satu dan dua. Jika dilaboratorium komputer dengan cara satu dan jika diluar laboratorium komputer dengan cara dua.






4 Langkah Praktis untuk Meraih Impian Anda

Teknik pikiran “Repetitive Writing” atau “Penulisan Berulang”. Teknik pikiran ini sejujurnya mudah untuk membuat Anda bosan melakukannya, namun keuntungannya jauh lebih penting daripada investasi waktu Anda selama 10 menit untuk melakukannya setiap hari. Menuliskan harapan kita berulang-ulang akan mempengaruhi secara mendalam pikiran bawah sadar kita. Teknik ini berguna untuk menanamkan afirmasi dan membuat kondisi ideal.

Bila kita membahas tentang Teknik Penulisan Berulang maka dalam pikiran kita akan terbayang seorang guru Sekolah Dasar yang memerintahkan muridnya untuk menulis 100 kali “Saya tidak akan berbicara lagi di dalam kelas” untuk mendisiplinkan muridnya. Apa yang dilakukan oleh guru tersebut hampir benar. Mengapa dikatakan HAMPIR benar? Guru tersebut sekilas tampak seperti sedang menanamkan afirmasi pada muridnya, namun seperti kekeliruan yang dilakukan banyak orang dalam menuliskan afirmasi: penyusunan kalimat yang tidak tepat. Ia berfokus pada hal yang negatif.

Seperti yang sudah kita ketahui, pikiran bawah sadar bekerja berdasarkan gambar dan tidak dapat memproses kata negatif seperti ‘jangan’, ‘tidak’ atau ‘tidak dapat’. Ketika murid tersebut menuliskan, “Saya tidak akan berbicara lagi di dalam kelas,” maka pikiran bawah sadarnya membawa gambar tentang dirinya dan berbicara lagi di dalam kelas, dan dia justru mulai menanamkan dengan kuat tingkah laku yang sedang diusahakan untuk diubah.

Maksud baik Sang Guru ternyata justru menekankan pada tingkah laku yang ingin diubah. Tebaklah apa yang terjadi pada hari berikutnya! Kelas justru akan semakin ribut. Lalu bagaimana cara guru mendisiplinkan muridnya? Menulis berulang “Saya bersikap tenang di dalam kelas” pasti akan menghasilkan suasana kelas yang jauh berbeda.

Maka marilah kita gunakan informasi ini untuk penerapan yang praktis! 4 Langkah Sangat Praktis untuk Membuat Penulisan Berulang Anda yang dapat Anda lakukan adalah sebagai berikut:

  • Langkah 1:

    Pilihlah maksimal 3 sikap yang ingin Anda ubah. Idealnya, Anda memilih dan fokus pada satu saja tingkah laku sampai Anda lihat efek dari afirmasi Anda menjadi kenyataan, Anda dapat memulai dengan tujuan yang baru. Jika anda ingin mempercepat proses, ambillah tujuan yang sama dengan teknik pikiran Menanamkan Afirmasi yang Anda lakukan.

  • Langkah 2:

    Yakinlah bahwa Anda telah menyusun kalimat dengan benar. Ini adalah langkah sama yang Anda harus gunakan ketika Anda ingin menciptakan afirmasi Anda. Ingat! Kalimat Anda harus bersifat perseorangan atau pribadi, harus kalimat positif dan harus kalimat kondisi saat ini.

  • Langkah 3:

    Belilah sebuah buku tulis! Menggunakan buku tulis untuk menuliskan kalimat afirmasi Anda jauh lebih efektif daripada menggunakan lembaran kertas biasa. Letakkan buku ini di suatu tempat yang mudah Anda lihat atau jangkau! Ini mempermudah Anda untuk mengingatkan bahwa Anda harus menuliskan kalimat afirmasi setiap pagi dan malam.

  • Langkah 4:

    Tulislah tanggal pada bagian atas halaman dan tuliskan kalimat afirmasi Anda berulang-ulang pada setiap baris sampai penuh satu halaman. Rata-rata buku tulis memiliki baris antara 25 - 30 baris. Jumlah baris tersebut sangat cukup. Menuliskan harapan Anda berulang-ulang akan sangat jauh mempengaruhi pikiran bawah sadar Anda.

    Lakukan 4 langkah ini setiap pagi saat bangun dan setiap malam sebelum tidur. Sekali pikiran bawah sadar Anda menyerap sepenuhnya pernyataan afirmasi yang ingin Anda tanamkan dan memberikan kepada Anda alat untuk membuat segala sesuatunya menjadi nyata, akankah Anda mulai melakukan teknik ini untuk hasrat Anda selanjutnya?




  • Jenis & Jenjang Pendidikan

    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

    Jenjang pendidikan

    Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

    Pendidikan anak usia dini

    Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini mulai lahir sampai baligh (kalau perempuan ditandai menstruasi sedangkan laki-laki sudah mimpi sampai mengeluarkan air mani) adalah tanggung jawab sepenuhnya orang tua, apakah anak itu mau diarahkan Yahudi, Majusi, atau nashrani, atau Islam. pertanyaannya bagaimana kalau kedua orang tuanya sibuk bekerja?

    Pendidikan dasar

    Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

    Pendidikan menengah

    Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun

    Pendidikan tinggi

    Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh [[perguruan tinggi Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA

    Materi pendidikan

    Materi Pendidikan harus disajikan memenuhi nilai-nilai hidup. nilai hidup meliputi nilai hidup baik dan nilai hidup jahat. penyajiannya tidak boleh pendidikan sifatnya memaksa terhadap anak didik, tetapi berikan kedua nilai hidup ini secara objektif ilmiah. dalam pendidikan yang ada di Indonesia tidak disajikan nilai hidup, sehingga bangsa Indonesia menjadi kacau balau seperti sekarang ini.

    Jalur pendidikan

    Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

    Pendidikan formal

    Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

    Pendidikan nonformal

    Pendidikan nonformal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar.

    Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.

    Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

    Pendidikan informal

    Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

    Jenis pendidikan

    Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

    Pendidikan umum

    Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

    Pendidikan kejuruan

    Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

    Pendidikan akademik

    Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

    Pendidikan profesi

    Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.

    Pendidikan vokasi

    Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

    Pendidikan keagamaan

    Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

    Pendidikan khusus

    Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

    Filosofi pendidikan

    Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."

    Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi. Kualitas pendidikan

    Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan,khususnya di Indonesia yaitu:

    Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

    Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.







    artikel pendidikan

    Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran

    Usia siswa kelas I-III SD masih tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari Rabu (11/1).

    Terkait dengan itu, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.

    Menurut Mudjito, upaya pengurangan beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.

    "Kalau kegagapan anak-anak itu dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.

    la menjelaskan, awal Januari ini pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.

    Pembelajaran tematik

    Secara terpisah, Ketua BSNP Bambang Suhendro mengatakan, pihaknya memang tengah mengkaji usulan tersebut. Kelak, di kelas I-III SD tak ada lagi mata pelajaran diberikan secara tersendiri, tetapi secara tematik.

    Misalnya, dengan mengarahkan siswa bermain di halaman sekolah, pelajaran Matematika. Ilmu Pengetahuan Sosial. dan Ilmu Pengetahuan Alam bisa diberikan sekaligus. Dengan demikian, beban belajar akan berkurang dan tak selamanya harus melalui tatap muka di kelas.

    "Saat ini kebetulan kami tengah memfinalisasi standar isi pendidikan dan struktur kurikulum yang pada akhirnya akan mengurangi beban dan pelajaran rata-rata 10 persen pada jenjang SD/Ml-SMA/MA," kata Bambang Suhendro.

    Dalam uji publik standar isi pendidikan tanggal 21-23 Desember 2005, BSNP telah merancang beban belajar kegiatan tatap muka untuk jenjang SD/Ml hingga SMA/MA. Untuk jenjang SD/MI kelas I-III, dirancang 29-32 jam pelajaran per minggu atau 986-1.216 waktu pembelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara dengan 35 menit. Untuk kelas IV-V1. dirancang 34 jam pelajaran perminggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 35 menit. Untuk SMP/MTs dirancang 34 jam pelajaran per minggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran untuk tingkat ini setara 40 menit. Adapun untuk SMA/MA dirancang 38 jam pelajaran perminggu atau 1.292-1444 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 45 menit (NAR).


    sekolah alternatif dan formal

    Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung. Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale Rahayat. Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus dihadapinya.
    "Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi masyarakat Dano," tutur Kokon.
    Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP. Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan murid. Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.

    Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah di sekolah formal.

    Korban diskriminasi

    Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela, justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa. Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar itu dibagi lagi untuk beberapa tutor. Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi honorarium Rp 20.000 per bulan.
    Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin, mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp 40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.

    Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.
    Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin tetap saja tidak bisa bersekolah.


    Anggaran dan substansi

    Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.
    Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka. Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.
    Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima "Sokola" di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta. Madrasah Tsanawiyah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

    Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.
    Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis, bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di desa.

    Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan subversif dalam masyarakat tertentu. "Tergantung tujuannya, apakah pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya," kata Mochtar.
    Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan. Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.
    "Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus dibangun," kata Ibe.

    Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko, tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara masyarakat dan negara, mesti disinergikan.
    Semangat perlawanan, kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, yang selama ini terjadi juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.
    "Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan," kata Lodi.


    beban belajar

    Mengurangi beban anak di sekolah tidak cukup dengan menyusutkan jumlah jam belajar. Muatan kurikulum yang terlalu padat malah bisa menambah tekanan baik kepada murid maupun guru. Demikian pendapat psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia Lucia RM Royanto, Selasa (8/11), ketika dimintai komentarnya tentang rencana pengurangan jam belajar.


    Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kini tengah menyusun standar isi pendidikan, terdiri dari rumusan rekomendasi kurikulum baru dan beban belajar. Dalam rancangan itu antara lain diusulkan penyusutan jumlah jam pelajaran menjadi sekitar 1.000 jam dalam satu tahun dari 1.100-1.200 jam.

    "Selama ini guru cenderung mengejar target kurikulum. Oleh karena itu muatan kurikulum harus dipertimbangkan," katanya. Menurut dia, yang harus dipertimbangkan antara lain jangan sampai urutan pembelajaran melompat-lompat. Misalnya, materi yang lebih susah malah disajikan terlebih dahulu.

    Tumpang tindih
    Materi pembelajaran juga jangan tumpang tindih. Dia mencontohkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta (PLKJ) yang sejumlah materinya ada kesamaan.
    "Terkadang topik yang sama itu berbeda pembahasannya di buku Ilmu Pengetahuan Sosial atau PLKJ. Ini membuat anak menjadi bingung," katanya. Agar kurikulum dapat diterapkan dengan baik di lapangan, guru yang berhadapan langsung dengan murid harus dilibatkan dalam pembuatan kurikulum. Demikian pula para psikolog kognitif yang mengerti urutan tingkat pengetahuan anak.
    Dengan mengurangi materi yang tumpang tindih, muatan materi mata pelajaran tertentu dapat lebih ringan atau malah bisa dihapuskan.

    Jika kurikulum tetap padat sementara jam belajar singkat, terbuka kemungkinan sekolah menambah jam belajar sendiri dan membebani murid dengan lebih banyak lagi pekerjaan rumah. Anak makin stres dan kelelahan.

    Lucia berpendapat, kurikulum tidak perlu padat. Yang terpenting ialah kemampuan guru merangsang anak untuk memiliki rasa ingin tahu, menumbuhkan keinginan belajar, membekali murid dengan cara belajar serta menelusuri pengetahuan melalui berbagai sumber. (INE)


    sekolah sulit mensosialisasikan pelajarnya

    Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sosialisasi!

    Semua manusia muda, sampai di pelosok pun, telah atau mulai mengalami modernisasi dan menikmatinya. Kata dasar modernisasi adalah kata Latin modus, artinya: cara. Kemudian timbul kata Prancis mode, yaitu cara khusus mengenai berpakaian, berdandan, memangkas rambut, berhias sampai bergagasan. Lantas orang yang mengikuti cara, mode, itu dikatakan modern. Usaha penyesuaian itu disebut modernisasi. Yang kemudian artinya diterapkan kepada setiap ikhtiar guna membedakan diri dari cara yang sudah lewat. Usaha modernisasi ini dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan yang sudah usang demi perbaikan hidup.

    Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri dengan yang sekarang berlaku sebetulnya bukan modernisasi, melainkan konformisme. Dalam modernisasi sejati ada pendapat pribadi mengenai yang baru itu, sedang dalam konformisme hanya sikap ikut-ikutan saja. Gaya konformisme sangat kuat di antara kaum muda. Mereka baru meraih identitas diri yang masih lemah, maka dibutuhkan pengukuhan atas identitas tersebut. Yang amat diperlukan adalah diterimanya oleh kelompok baya, peer group, yang dianggap paling modern.

    Apakah sebetulnya kelompok tersebut modern atau kolot pandangan hidupnya, bukan hal penting. Yang dicari adalah pengukuhan dan penggalangan lewat diterima oleh kelompok baya. Kelompok itu akan menuntut penyesuaian mutlak guna mempertahankan identitas kelompok. Jadi, pengukuhan demi menopang identitas diri yang masih lemah itu diperoleh lewat konformisme. Kalau kelompoknya sungguh-sungguh mendukung modernisasi, ia akan ikut. Namun, bila mereka bernostalgia akan hidup primitif, suatu mode baru, ia pun akan suka hidup primitif.

    Berbahaya

    Konformisme inilah yang berbahaya, karena mematikan identitas diri. Selama pada masa perkembangan hanya ikut-ikutan saja, orang muda akan menjadi orang dewasa yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak berinisiatif, dan pembeo belaka. Kegotongroyongan dan mental pasrah terserah nasib, yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah kuat. Orang yang mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya.

    Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam, satu bahasa, satu gerak dan sebagainya; penuh dengan orang yang suka ikut-ikutan, dan berkecenderungan latah ikut mode macam-macam tanpa berpikir, apa perlu atau tidak, baik atau tidak. Lebih suka hanyut dalam arus daripada ribut-ribut, walaupun jelas arus itu keliru. Jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah. Seolah-olah kita berpendirian "lebih aman hancur bersama-sama orang banyak daripada benar lagi selamat tetapi sendirian".

    Yang sekarang amat memprihatinkan adalah bahwa konformisme itu, yang menjadikan mereka orang yang dikolektivisasi, tidak diatasi oleh pendidikan yang mendewasakan, akan tetapi justru terus-menerus diperkuat oleh pendidikan yang ciri khasnya seragam. Sistem pendidikan maupun pembelajaran kita mendukung kolektivisasi, dengan demikian justru mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut.

    Proses ini sudah dimulai pada saat manusia lepas dari keadaan yang diciptakan Tuhan, yaitu keluarga. Mulai TK sampai dengan SMU dan SMK, segala-galanya harus seragam. Pakaian, sepatu, peci, rambut, semua uniform ialah bentuk yang sama. Seragam. Di perguruan tinggi tidak ada pakaian seragam. Namun, kurikulum, sistem ujian, matakuliah-matakuliah efektif, praktikum, semua seragam dan sama. Keseragaman berpikir. Kreatif? Mustahil. Menjadi pegawai negeri, pakaian seragam; dan di kantor-kantor terdapat buku pedoman, buku petunjuk pelaksanaan, agar tidak ada ruang berpikir bebas dan hanya boleh mengikuti pikiran yang berkuasa. Terjadi kolektivisasi secara mutlak. Apakah ini orang yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat modern? Jelas bukan!

    Pembangun masyarakat modern adalah mereka yang tahu akan dan menerima baik keunggulan maupun kelemahannya. Ia tidak dihinggapi oleh kerendahan hati palsu, karena ia sadar akan dan bangga atas kepribadiannya yang berharga dan penting juga bagi sesama. Ia mempergunakan kemampuannya secara penuh. Ia pantang mundur kendati ada kekurangan padanya. Ia menerima dirinya sendiri maupun orang lain apa adanya. Ia tidak berkelit menghadapi kenyataan, sebaliknya ia berani to face the facts, beradu dada dengan kenyataan. Pendek kata, laki-laki dan perempuan yang kompeten, bertanggung jawab dan penuh perhatian untuk sesama mereka. Mereka adalah pribadi mandiri dan kreatif yang merupakan daya manusia, human resources, untuk modernisasi sejati.

    Lagi, yang memprihatinkan adalah bahwa sistem pendidikan dan pembelajaran kita, sistem persekolahan kita, mustahil menjadi sumber daya manusia itu, hanya bisa menjadi sumber anggota kolektivisme yang mustahil berkepribadian dan mustahil kreatif. Bukan karena orang Indonesia. Anak-anak Indonesia amat kreatif dan kadar kemandiriannya sangat tinggi, karena mereka belum masuk sistem kolektivisasi yang disebut sekolah sampai dengan perguruan tinggi.

    Kolektivisasi itu adalah musuh utama dari sosialisasi. Sosialisasi adalah usaha menjadikan manusia muda menjadi pribadi dewasa mandiri yang kompeten, bertanggung jawab dan memiliki kepedulian sosial tinggi. Pribadi itu percaya akan diri sendiri, tidak merasa rendah diri, terbuka, dan menerima semua orang lain, walau orang itu berbeda pendapat. Sebaliknya, hasil kolektivisasi adalah orang seperti anggota kawanan, tidak berkepribadian, selalu bertumpu pada orang lain dan pendapatnya.

    Sekolah-sekolah kita mustahil mengadakan sosialisasi. Selain sistem persekolahan kita, sikap para pengajar dan pendidik yang masih amat feodal, keadaan sekolah-sekolah kita tidak memungkinkan adanya sosialisasi. Populasi sekolah merupakan kumpulan orang muda dari SD sampai SMU, yang terdiri atas individu-individu yang tidak mempunyai tujuan lain selain mengembangkan intelektualitas masing-masing. Itulah memang hakikat sebuah sekolah. Hubungan antara individu satu dengan individu yang lain terjadi hanya selama beberapa jam di sebuah ruangan yang sama. Tidak ada hubungan sedarah sedaging seperti di keluarga, juga tidak ada hubungan senasib seperti di sebuah asrama. Masuk ruangan itu dari mana-mana dan pergi meninggalkan ruang itu kemana-mana.

    Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk sosialisasi. Para pelajar hanya tahu nama anak sekelas, yang lain adalah orang asing bagi mereka. Kalau dari satu kelas ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, itu bukan karena sekelas akan tetapi karena tetangga sekompleks, seorganisasi, Gereja, Masjid, atau seperkumpulan olahraga. Memaksa sosialisasi dengan mewajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler adalah salah besar, karena akibatnya justru kebalikannya, yaitu kolektivisasi dan kebencian terhadap ekstrakurikuler. Sosialisasi berasal dari kata Latin socius yang berarti teman, rekan, sahabat. Masakan persahabatan bisa dipaksakan dan diorganisir?

    Sebab Lain

    Masih ada sebab lain, mengapa sosialisasi tidak mungkin terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Kebanyakan orangtua tidak mendidik anak mereka untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak boleh ada anak yang lebih daripada anak mereka. Akibatnya pelajar kita pasif, tidak berani bertanya di kelas. Itu benar. Sebab kalau seorang pelajar bertanya, seluruh kelas mulai berteriak goblok-goblok-goblok atau carmuk-carmuk-carmuk (cari muka). Tidak boleh ada anak lain yang menonjol. Pelajar-pelajar tidak berani mendapat nilai tinggi, karena langsung dicap sombong, egoistis. Saya alami bahwa lima anak menteri melarikan diri dari SMU-SMU saya karena diteror oleh pelajar-pelajar lain "Kamu diterima karena ayahmu menteri". Mana tahan! Di UI terjadi yang sama.

    Itulah pengalaman saya selama 16 tahun di sekolah-sekolah favorit di Jakarta. Anak-anak kita amat iri hati. Tidak dapat menerima bahwa di sekolah ada pelajar yang lebih pandai dari mereka atau orang tua yang lebih tinggi posisinya atau lebih kaya. Tidak ada masalah, selama pelajar tidak mengetahui siapa orangtua pelajar-pelajar lain. Itulah akibat pola pendidikan tertentu yang tidak menjadikan anak menerima diri apa adanya.

    Ada anak sulung yang prestasinya di sekolah 6-6,5. Adiknya amat pandai, 9 itu prestasinya. Ibu muncul dan menegur si adik. Jangan menonjol, 7 cukup karena nanti kakakmu tersinggung. Kedua anak ini hancur. Yang sulung merasa didukung bahwa tidak boleh ada anak yang lebih pandai daripada dia. Ia makin iri hati. Adiknya mogok studi. Ada hasil malah dimarahi. Bagaimana cara yang baik mendidik kedua anak itu? Kepada yang sulung harus diberitahu bahwa Bapak dan Ibu puas dengan nilai-nilainya. Tidak perlu lebih, tiap-tiap anak harus berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Ia harus bangga bahwa mempunyai adik yang pandai. Kepada si adik: Belajarlah terus, berprestasilah sesuai kepandaianmu. Kami sekeluarga bangga atas nilai-nilaimu. Kamu boleh bangga, tetapi jangan menganggap remeh mereka yang tidak sepandai kamu. Untuk kehidupanmu nanti yang penting tidak hanya menjadi orang pandai. Dua anak ini akan menjadi pribadi dewasa mandiri. Banyak masalah di sekolah ber-asal dari sikap Ibu yang menuntut bahwa semua anaknya harus menjadi pandai, peringkat I, kalau perlu memakai guru-guru les. Kepribadian anak yang diperlukan demikian akan menjadi amat lemah, tidak mempunyai rasa percaya diri. Sosialisasi gagal.

    Sekolah pada umumnya dan keadaan sekolah di Indonesia pada khususnya bukan tempat yang baik untuk sosialisasi. Keluarga dan masyarakat itulah tempat orang menjadi manusia yang berkepedulian sosial tinggi.